Di banyak ruang kelas, murid yang tidak mengerjakan tugas atau terlihat tidak fokus sering kali langsung diberi label “malas.” Padahal, kenyataan yang lebih kompleks kerap tersembunyi di balik permukaan. neymar 88 Banyak dari mereka bukan tidak mampu atau tidak peduli, melainkan bosan—jenuh karena rutinitas yang monoton dan kurang relevansi dengan kehidupan nyata.
Bosan adalah emosi yang sering diabaikan dalam dunia pendidikan. Ia dianggap sepele, padahal bisa sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar. Ketika materi tidak lagi menantang atau cara penyampaian terlalu kaku, murid kehilangan rasa ingin tahu. Akhirnya, alih-alih bertanya atau berdiskusi, mereka memilih untuk diam, pasif, atau bahkan memberontak secara halus.
Sekolah yang Terjebak Dalam Sistem Lama
Sistem pendidikan yang berlaku saat ini masih banyak mengandalkan pendekatan satu arah. Guru menjelaskan, murid mencatat. Ujian menjadi tolok ukur utama, dan nilai adalah tujuan akhir. Di tengah zaman digital dengan akses informasi begitu luas, pendekatan semacam ini terasa ketinggalan zaman. Anak-anak sekarang tumbuh dalam lingkungan yang cepat, visual, dan interaktif. Mereka terbiasa dengan kebebasan memilih konten, berekspresi di media sosial, dan belajar dari berbagai platform secara mandiri.
Namun, sekolah tidak selalu memberi ruang untuk itu. Kelas masih diatur dengan jadwal padat, materi baku, dan minim fleksibilitas. Kreativitas dan keingintahuan yang alami pada anak-anak perlahan tergerus karena tidak diberi ruang untuk berkembang. Saat pelajaran hanya terasa seperti kewajiban yang harus dilalui, maka rasa bosan adalah respons yang sangat wajar.
Kurikulum Seragam, Minat yang Beragam
Tidak semua anak tertarik dengan rumus matematika atau teori sejarah. Ada yang lebih suka menggambar, membuat musik, atau membangun sesuatu dengan tangannya. Tapi sistem sekolah jarang memberi tempat bagi bakat-bakat semacam ini untuk tumbuh secara adil. Kurikulum dibuat seakan semua anak harus unggul di hal yang sama. Padahal, keunggulan tiap anak berbeda-beda.
Kesenjangan ini menciptakan perasaan gagal pada murid yang tidak sesuai dengan “kerangka keberhasilan” yang ditetapkan sistem. Mereka yang jago menggambar tapi buruk di matematika, misalnya, bisa merasa tidak cukup pintar hanya karena nilainya rendah. Padahal, mereka hanya butuh pendekatan yang berbeda untuk berkembang.
Guru Juga Terjebak Sistem
Bukan hanya murid yang lelah. Banyak guru juga kehabisan cara karena harus mengejar target kurikulum dan beban administrasi. Guru menjadi lebih sibuk mengisi laporan daripada membangun koneksi dengan murid. Akibatnya, kelas menjadi ruang yang kurang hangat dan interaktif. Murid yang bosan tidak mendapat perhatian yang cukup karena guru pun berada di bawah tekanan sistem yang kaku.
Belajar Harusnya Menyenangkan, Bukan Menekan
Esensi pendidikan adalah menumbuhkan rasa ingin tahu dan semangat belajar sepanjang hayat. Tapi ketika sekolah menjadi tempat yang penuh tekanan, di mana kesalahan dihukum dan keberhasilan hanya diukur lewat angka, maka makna belajar itu sendiri jadi hilang. Murid yang “malas” mungkin hanya sedang berusaha bertahan di lingkungan yang tidak memotivasi.
Jika sekolah bisa menjadi ruang eksplorasi, bukan sekadar penghafalan, maka semangat belajar akan tumbuh lebih alami. Tapi ini bukan tanggung jawab guru saja. Perlu perubahan sistemik, mulai dari perumusan kurikulum, metode pengajaran, hingga cara menilai keberhasilan belajar.
Kesimpulan
Murid yang dianggap malas sering kali hanyalah cerminan dari sistem yang tidak mampu merangsang minat dan potensi mereka. Kebosanan bukan bentuk pembangkangan, melainkan sinyal bahwa sesuatu dalam sistem pendidikan perlu diperbaiki. Untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, penting untuk meninjau ulang cara belajar yang saat ini berlaku agar bisa lebih sesuai dengan realitas dan kebutuhan generasi masa kini.